Rabu, 10 Januari 2018

Intelijen Menyusup lewat Dunia Cyber


Siapa Menguasai Digital = Menguasai Dunia


JAKARTA, KABARINDONESIA.CO.ID- Intelejen hari ini dituntut mampu beradaptasi terhadap dinamika perkembangan digital. Mengingat kondisi sekarang perang di era digital berlangsung sangat cepat, sunyi dan senyap. Jika dulu gerakan penyusupan intelijen terhadap suatu negara melalui jalur darat, kini penyusupan dilakukan melalui dunia cyber. 
 
"Telah muncul berbagai ancaman dalam bentuk dunia baru. Seperti cyber war, proxy war, perang asimetris, cyber terorism, perang spionase," kata Ngasiman Djoyonegoro, penulis buku "Intelijen di Era Digital: Prospek dan Tantangan Membangun Ketahanan Nasional" yang dibedah dan dilaunching di Menara Batavia, The President Lounge, Jakarta Pusat, Rabu (10/1/2018). 
Di era digital sekarang juga muncul istilah low intensity wars (perang intensitas rendah), small wars (perang-perang kecil), network centric warfare (perang berpusat pada jejaring), fourth generation wars (perang generasi keempat), non-conventional/hybrid wars (perang nonkonvensional), dan asymmetric wars (perang asimetris). Ia mengatakan, dalam satu dasawarsa pertama abad 21, jumlah orang yang terhubung ke internet melesat jauh, dari 350 juta pengguna menjadi 2 miliar pengguna. 


Pada tempo yang sama, jumlah pengguna seluler melambung dari 750 juta pengguna hingga 5 miliar orang. Bahkan diperkirakan sudah mencapai 6 miliar lebih. Artinya, pada tahun-tahun mendatang, dunia sudah dalam genggaman digital. Siapa yang menguasai digital berarti menguasai dunia, tambah Ngasiman. 
 
Dengan situasi tersebut, lanjut dia, intelijen menjadi garda terdepan dalam menjaga keutuhan NKRI. Intelijen dituntut mampu memahami sepenuhnya bentuk ancaman - kejahatan baik yang berskala lokal maupun global. Peperangan yang dulunya identik dengan senjata, peluru, pembunuhan, pengeboman, dan sebagainya kini telah bergeser seiring dengan perkembangan teknologi. Kini, peperangan telah memiliki model baru yang jauh berbeda dengan peperangan konvensional. 
 
"Kita bayangkan, kelompok teroris, perbankan hingga profiling terhadap orang dan perusahaan, melakukan aksinya dengan dukungan digital. Tak hanya itu, penyebaran informasi hoax bernada SARA yang dapat memperpecah bangsa sekarang juga berlangsung melalui perangkat digital," tegas Ngasiman. 
Ngasiman mencatat, sepanjang tahun 2017 lalu, ada 205.502.159 kali serangan siber yang menyerbu pertahanan digital Indonesia. Serangan ini mulai dari hoax, peretasan terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU), peretasan website pemerintah dan BUMN, hingga serangan ransomware yang secara langsung meminta tebusan kepada masyarakat. 
Dalam kegiatan launching dan bedah buku tersebut, turut hadir sejumlah tokoh penting. Antara lain: Jenderal TNI (Purn) AM Hendropriyono mantan (Kepala Badan Intelijen Negara 2001-2004) sebagai keynote speaker, dan 8 panelis yakni J.Kristiadi (Pakar Politik dan Keamanan CSIS), Laksamana Madya TNI Ari Soedewo (Kepala Badan Keamanan Laut RI), Marsekal Muda TNI Kisenda Wiranata Kusuma (Kepala Badan Intelijen Strategis TNI), Komjen. Pol. Lutfi Lubihanto (Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri), Wawan H. Purwanto (Pengamat Intelijen), Marsudi Wahyu Kisworo (Rektor Perbanas Institute, Tenaga Ahli Pertahanan Siber Kemhan RI), Eko Sulistyo (Deputi IV Kantor Staf Presiden RI), Hery Haryanto Azumi (Sekjend PB MD Hubbul Wathon). Buku ini ditulis dengan pendekatan ilmiah populer. Terdiri dari 4 (empat) bab, buku ini mencoba mengulas isu-isu penting dan genting dalam dunia intelijen. (sonny majid)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERKINI

Space Available

Jadwal Penerbangan Bandara Juanda Surabaya