Penulis : Agus Pamuji
Pegiat Medsos
Mantan Wartawan Balikpapan Pos
SAYA
secra pribadi maupun sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) turut berduka cita
mendalam atas musibah kemanusiaan yang dialami saudara kita para
suporter Aremania di Stadion Kanjuruhan Malang, Jatim, dalam gelaran
laga Sepakbola Arema v Persebaya, 1 Oktober 2022 lalu. Di mana dalam musibah itu menelan
korban meninggal dunia 125 orang dan korban luka-luka 300 lebih
(berbagai sumber resmi media tv nasional dan instansi pemerintah), belum
lagi kerugian materiil lainnya yang hancur.
Rasa prihatin yang mendalam
dan penyesalan tersebut, didasari atas meninggalnya ratusan suporter
Aremania yang tidak berdosa ketika mereka tengah menikmati tontonan
pertandingan sepakbola di kandangnya sendiri sebagai bentuk fanatismenya
terhadap pemain Arema. Ini merupakan tragedi kali pertama yang sangat
memilukan dalam catatan sepanjang sejarah persepakbolaan di tanah air
hingga menelan korban meninggal 125 orang, bahkan ketiga besar
persepakbolaan dunia.
Semoga ALLAH SWT menempatkan para korban meninggal ini Husnul Khotimah dan yang luka-luka segera sembuh. Aamiinn.
Sayangnya,
peristiwa tragis tersebut menurut pihak PSSI kejadiannya di luar perkiraan.
Yaaa--- PSSI sebagai lembaga resmi penyelenggaraan sepakbola di tanah
air menyampaikan pandangannya seperti itu. Bukankah setiap event laga
sepakbola di tanah air seringkali diwarnai kericuhan dan bentrok antarsuporter, pemain, warga, juga dengan aparat keamanan?
Bukankah kejadian yang terus berulangkali itu, juga dikatakan di luar perkiraan, hah?
Ironisnya
lagi, kali ini Liga I Pertandingan Sepakbola Arema v Persebaya di
Stadion Kanjuruhan itu berlangsung malam hari, tanpa dihadiri para
suporter Bonek Suroboyo, alias pihak stakeholder yang menyelenggarakan
laga ini hanya memperbolehkan para suporter Aremania yang masuk di
Stadion Kanjuruhan sekira 35 ribuan penonton. Bisa dibayangkan, andai
saja kedua kubu suporter Bonek Suroboyo dan Aremania Malang dibolehkan
bertemu dalam satu event pertadingan tersebut, kemudian berubah jadi
bentrok massal, maka dapat diprediksi menelan korban lebih banyak lagi?
Lah
ini enggak, hanya dibanjiri penonton suporter Aremania saja, itu pun
masih bisa bentrok dengan aparat keamanan. Miris memang, dugaan
pemicunya berasal gas air mata pedih yang ditembakkan oleh sejumlah
personel kepolisian ke arah tribun.
Tak ayal,
puluhan ribu penonton panik, tunggang langgang berlarian menyelamatkan
diri. Dalam situasi kacau seperti itu, korban yang ingin menyelamatkan
diri terinjak-injak oleh suporter lainnya, gas air mata yang ditembakkan
ke arah tribun membuat para penonton lainnya mengalami sesak napas dan
mata pedas, sehingga korban berjatuhan meninggal dunia dan luka-luka,
karena tak sempat keluar stadion menyelamatkan diri, termasuk dua
personel kepolisian meninggal dunia. Tindakan represif aparat kepolisian
dengan menggunakan gas air mata sangat disayangkan berbagai pihak.
Padahal, jelas sekali pihak FIFA melarang keras penggunaan gas air mata kepada penonton saat kericuhan.
Tragedi
ini menyedot perhatian publik tanah air maupun berbagai pihak luar
negeri. Para petinggi negeri ini langsung bereaksi keras, berdoa dan
ucapan belasungkawa dari sejumlah pihak yang terus berdatangan. Uang
santunan dan layanan kesehatan bagi para korban juga diberikan
cuma-cuma.
Pertanyaan besarnya siapa yang harus bertanggung jawab atas kejadian tersebut? Siapa yang disalahkan?
Penulis
tak memposisikan sebagai pihak yang men-justifikasi ke stekeholder selaku
leading sector atas jalannya liga sepakbola yang paling bergengsi itu,
karena semua yang sudah terjadi itu, kini masuk ranah hukum. Aparat
gabungan kini tengah melakukan investigasi, penyelidikan sampai
ke tingkat penyidikan, sehingga mari kita semua menunggu kesimpulannya,
kita serahkan sepenuhnya kepada proses hukum.
Apalagi FIFA juga ditunggu
publik untuk menjatuhkan sanksi apa? Tetapi menurut penulis, paling
tidak tragedi kemanusiaan itu harus dicari akar persoalannya dulu,
apakah sistem manajemennya yang keliru, apakah aparat keamanannya yang
bertindak over prosedural? Atau pihak klubnya, official, panitia, PSSI
dan lainnya yang tidak sinergis?
Lalu muncul "emosi" apakah PSSI perlu dibubarkan?, jangan !. Apakah para klub sepakbola dibubarkan ? Wah ya jangan!
Apakah setiap pertandingan dilarang keras di stadion ada penontonnya (suporter) agar aman, juga tidak mungkin
Inilah
yang perlu dikaji mendalam dengan segera dievaluasi serta dibenahi
secara keseluruhan, agar ke depannya tidak terus terulang.
Pasalnya,
pertandingan sepakbola di era kemajuan teknologi informasi dan
digitalisasi kekinian, bukan lagi sekadar menikmati tontotan semata,
bukan pula sekadar hiburan yang menyenangkan, melainkan saat ini sudah
merambah luas sebagai bentuk industrialisasi persepakbolaan kelas dunia
internasional, kenapa? Jelas para pemainnya berprestasi, profesional,
lolos berbagai ajang seleksi dan kompetisi di semua tingkatan. Selain
itu, ada unsur bisnis, finansial, ekonomi, politik dan budaya.
Pemain
yang prestasi dan terkenal dikontrak karena dibayar mahal, wasit yang
profesional dan berintegritas bayarannya mahal, manajer dan pelatih pun
harganya mahal, juga harus teken kontrak yang didatangkan dari luar
negeri.
Efek domino lainnya tentu perekonomian di
sekitar area pertandingan tumbuh pesat, misalnya para pedagang, penjualan karcis ludes, parkir kendaraan hingga faktor jaminan keamanan dan sebagainya.
Jika semua sistemnya sudah baik, regulasi
maupun aturan hukumnya sudah disepakati bersama, masih saja timbul
kerusuhan, berarti itu faktor manusianya yang tidak sportif. Artinya
apa, harapan agar semua pihak yang terlibat langsung dalam pertandingan
tersebut, seperti wasit, offisial, pelatih, manajer, panitia, PSSI dan
penonton harus menjaga komitmen bersama untuk melaksanakan secara fair
play dan kondusif pupus sudah menjadi berantakan. Padahal jujur itu
kunci keselamatan bersama yang amat mahal, maka ketika salah satu pihak tidak
jujur alias bermain curang, spontan suporter bisa ngamuk, apalagi
pemainnya.
Kondisi
inilah yang sering terjadi dalam dunia persepakbolaan di tanah air,
bahkan sepakbola dunia. Jangankan sepakbola, event-event lainnya seperti bola
voli, karate, pencak silat, kuda lumping dan panggung hiburan juga
diwarnai keributan.
Bukankah setiap permainan pasti ada kalah-menang? Hendaknya itu yang harus dipahami dan sadari bersama.
Inti
dari setiap gelaran apapun namanya, kembali pada manusianya. Karena
hakekatnya manusia itu punya nafsu angkara murka, bisa bertindak zholim,
arogan, kuasa dan sombong. Karena itu, penulis
mengajak kepada kita semua merenung diri, sadar dan evaluasi. Karena sering
kali lupa terkadang setiap ucapan dan perkataan yang emosial dan
menggebu-gebu bisa menjadi doa yang mujarab, sehingga ALLAH SWT kabulkan
dan ridhoi, menjadi sebaliknya timbul tragedi yang memilukan hati. Ini
fakta (real time)
Semoga
ada hikmah besar yang amat berharga bagi kita semuanya di balik
peristiwa tersebut, agar setiap event apa saja tetap berlangsung aman, damai,
menyejukkan dan kondusif. Mari kita jaga persatuan dan kesatuan dalam
bingkai NKRI. Kita junjung tinggi sikap sportivitas. Aamiinn Yaa Rabb.
Wallahualambissawwab.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar